Dasar Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN)

oleh -100 Dilihat
Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan Tata Usaha Negara

F.J Stahl menjelaskan bahwa suatu negara hukum formal harus memiliki empat unsur, yaitu:

  1. Adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia;
  2. Adanya pemisahan/pembagian kekuasaan;
  3. Setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  4. Adanya Peradilan Tata Usaha Negara

Indonesia sebagai negara hukum memiliki dasar konstitusional pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara yaitu dalam Pasal 24 UUD 1945 yang menyatakan :

  1. Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
  2. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 24 UUD 1945 tersebut, diundangkanlah Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam Bab II Pasal 10, disebutkan terdapat lingkungan Badan-Badan Peradilan yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan demikan jelaslah bahwa dasar hukum pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara yang bebas dan mandiri cukup kuat, sama halnya dengan ketiga peradilan lainnya.

Adapun yang menjadi dasar hukum Peratun adalah sebagai berikut: Pembukaan UUD 1945 Alinea IV + Cita-cita Negara Hukum Materiil Pasal 24 dan 25 UUD 1945 TAP MPR No. IV/MPR/Tahun 1978 Bab IV Tentang GBHN Pasal 10 U.U. No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman UU No. 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung

  1. UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
  2. UU No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
  3. UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 5 Rahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara UU 10 Tahun 1990 Tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) : Jakarta, Medan, dan Ujung Pandang
    • KEPRES No. 52 Tahun 1990 Tentang Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Medan, Palembang, Ujung
    • KEPRES 21 Tahun 2004 Tentang Pengalihan Organisasi, Administrasi, dan Finannsial di Lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Agama dari Departemen Kehakiman dan HAM ke Mahkamaah Agung.
    • Peratuaran Presiden 13 Tahun 2005 Tentang Sekretariat Mahkamah Agung.
Baca Juga :  Jelang Pemilu 2024, Lapas Idi Berkoordinasi Bersama KIP Aceh Timur

Dari sudut sejarah ide dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan warga negaranya. Pembentukan lembaga tersebut bertujuan mengkontrol secara yuridis (judicial control) tindakan pemerintahan yang dinilai melanggar ketentuan administrasi (mal administrasi) ataupun perbuatan yang bertentangan dengan hukum (abuse of power).

Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam peraturan perundang-undangan yang khusus yakni, Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Tentang PTUN yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang No.9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dirasa sudah memenuhi syarat untuk menjadikan lembaga PTUN yang professional guna menjalankan fungsinya melalui kontrol yudisialnya.

Baca Juga :  PENGENDALIAN PUNGUTAN LIAR DI LEMBAGA PEMASYRAKATAN KELAS IIB MUARA ENIM

Namun, perlu disadari bahwa das sollen seringkali bertentangan dengan das sein, salah satu contohnya terkait dengan eksekusi putusan, Pengadilan Tata Usaha Negara bisa dikatakan belum profesional dan belum berhasil menjalankan fungsinya.

Sebelum diundangkannya UU No. 9 Tahun 2004 putusan PTUN sering tidak dipatuhi pejabat karena tidak adanya lembaga eksekutornya dan juga tidak ada sanksi hukumnya serta dukungan yang menyebabkan inkonsistensi sistem PTUN dengan sistem peradilan lainnya, terutama dengan peradilan umum karena terbentur dengan asas dat de rechter niet op de stoel van het bestuur mag gaan zitten (hakim tidak boleh duduk di kursi pemerintah atau mencampuri urusan pemerintah) dan asas rechtmatigheid van bestuur yakni atasan tidak berhak membuat keputusan yang menjadi kewenangan bawahannya atau asas kebebasan Pejabat tidak bisa dirampas.

Baca Juga :  Peringati HDKD Ke - 77 Tahun, Lapas Muara Enim Ikuti Turnamen Tenis Lapangan

Kemudian setelah diundangkannya UU No.9 Tahun 2004 tersebut diharapkan dapat memperkuat eksistensi PTUN. Namun, dalam UU No. 9 Tahun 2004 itu pun ternyata masih saja memunculkan pesimisme dan apatisme publik karena tidak mengatur secara rinci tahapan upaya eksekusi secara paksa yang bisa dilakukan atas keputusan PTUN serta tidak adanya kejelasan prosedur dalam UU No. 9 Tahun 2004 Pasal 116 ayat (4) yakni jika pejabat tidak bersedia melaksanakan putusan maka dapat dikenakan sanksi upaya paksa membayar sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif. lemah dari prinsip-prinsip hukum administrasi negara.

Eksekusi Putusan PTUN juga seringkali tertunda karena adanya upaya banding, kasasi, atau peninjauan kembali (PK) sehingga memaksa majelis hakim menunda eksekusi, kalau eksekusi tidak dapat dilaksanakan, maka PTUN berwenang untuk melaporkan kepada atasan yang bersangkutan yang puncaknya dilaporkan kepada Presiden.

No More Posts Available.

No more pages to load.